Bukan aku yang mencarimu, Bukan pula kamu yang mencariku tapi Allah lah yang mempertemukan dua hati yang berbeda atas nama cinta

Jumat, 27 Juli 2012

(¯`ღ Belajar dari Kegagalan Anna Althofunnisa ღ´¯)





Sebuah note yang panjang dengan statement yang mengagumkan sebagai seorang pembaca dan penulis
semoga di ambil ibroh dari setiap mnasihat yang tersampaikan. (Nur Kaffah Ahkam)

Selamat Membaca

Ia seorang muslimah, menutup aurat dengan sempurna, cerdas, berpendidikan tinggi, mengerti banyak hukum agama, dari keturunan yang baik, tumbuh di lingkungan yang baik pula, berbaur dengan orang-orang shalih, kaya, tidak punya cacat fisik, bahkan tergolong wanita cantik. Lalu, apa lagi yang kurang?

Ya, begitulah gambaran dari Anna Althafunnisa, seorang tokoh utama dari novel karya Habiburrahman El Shirazy yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih, yang kemudian diangkat ke layar lebar dengan judul film yang sama pula. Dan yang seperti kita ketahui bersama, seperti halnya novelnya yang laris manis, film ini pun laku keras di pasaran. Kemudian tak lama setelahnya, sosok Anna Althafunnisa begitu melekat di benak para muslimah, mampu menjadi ikon tentang muslimah yang seharusnya. Setidaknya ini saya lihat ketika diamanahi mendampingi tiga puluh delapan muslimah masa peralihan dari belia ke dewasa yang sedang menjalani hidupnya di awal-awal semester kuliah.

Melihat kapasitas dan kualitas kemuslimahan Anna Althafunnisa dalam gambaran cerita tersebut, pantas saja kalau kemudian dalam angan, ia adalah sosok muslimah ideal masa kini. Namun ada yang menarik untuk dicermati dan diurai hikmahnya bersama. Bahwa seideal-idealnya muslimah, tetaplah ia wanita bumi yang sangat mungkin berbuat khilaf dan punya kekurangan di sana-sini di balik kelebihannya yang berlimpah. Pun pembahasan ini bukan untuk mencari-cari kesalahan seseorang, tapi semoga mampu mengasah sikap kritis kita, agar tak selalu mengangguk setuju pada tokoh yang diidolakan.

Ada dua peristiwa bersejarah dalam hidup Anna yang menarik untuk dicermati, yaitu ketika prosesi khitbah dan penyebab perceraian dalam biduk rumah tangganya.

Dalam prosesi khitbahnya, kita dapati syarat Anna sebelum mengiyakan lamaran adalah, bahwa tidak adanya wanita lain kelak dalam rumah tangganya, alias ia menginginkan menjadi wanita satu-satunya dalam hati sang suami. Banyak muslimah yang 'terhipnotis' dengan pernyataan Anna, bahwa ia ingin seperti Fatimah dan Ibunda Khadijah yang tak pernah diduakan seumur hidupnya.

Tak ada yang salah dengan keinginannya ini, tapi jangan lupa, bahwa kita juga punya si cerdas Aisyah yang tetap bahagia dengan Rasullullah padahal ia bukan wanita satu-satunya dalam kehidupan beliau, kita punya panutan seperti Zainab, Hafsah, dan masih banyak lagi pribadi-pribadi luar biasa yang mampu menjalani takdirnya sebagai seorang isteri yang bukan satu-satunya.

Mungkin menjadi hal yang sangat wajar syarat itu diajukan oleh wanita biasa dan kebanyakan, tapi menjadi tidak wajar bahkan janggal bagi seorang muslimah putri Kyai yang tentunya sedari kecil telah tumbuh dengan didikan Islami seperti Anna. Di sinilah Anna telah gagal bersikap bijak sebagai seorang muslimah, karena pada kenyataannya ia yang telah banyak mengerti hukum agama yang seharusnya lebih bisa taat pada Allah dan RasulNya, bersikap seperti wanita pada umumnya. Maka wajarlah jika timbul pertanyaan logis, kalau seorang muslimah sekredibel Anna saja 'menolak' dipoligami, bagaimana dengan wanita pada umumnya?

Menarik pula apa yang diumpamakan Anna tentang sikapnya pada poligami, bahwa jika ia tidak menyukai jengkol dan tidak memakannya bukan berarti ia mengharamkan jengkol. Hal yang logis, tapi kurang tepat dijadikan perumpamaan. Karena yang sedang kita bicarakan ini berupa syari'at Islam. Dalam hal ini sama saja Anna mengatakan, bahwa ia tidak suka dipoligami, tapi bukan berarti ia mengharamkan poligami. Penegasan yang ingin disampaikan Anna di sini adalah bahwa poligami tetaplah halal, tapi ia tidak menyukainya.

Inilah yang perlu hati-hati kita telaah.

Islam telah menjadikan poligami sebagai sesuatu perbuatan mubah (boleh), bukan sunnah, bukan pula wajib. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam hal. 129 :
"Harus menjadi kejelasan, bahawa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan demikian."
Dasar kebolehan poligami tersebut kerana Allah SWT telah menjelaskan dengan sangat mudah tentang hal ini :

"Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat." (QS an-Nisaa’ [4]: 3)
Imam Suyuthi menjelaskan bahawa pada ayat di atas terdapat dalil, bahawa jumlah isteri yang boleh digabungkan adalah empat saja (fiihi anna al-‘adada alladziy yubahu jam’uhu min al-nisaa’ arba’ faqath) (Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 59).

Asbabun nuzul ayat ini, bahawa Urwah bin Zubair RA bertanya kepada ‘Aisyah tentang ayat QS An-Nisaa` : 3 yang lengkapnya berbunyi :
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kahwinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kahwinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya." (QS an-Nisaa’ [4]: 3)
Maka ‘Aisyah menjawab,"Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya. Tapi pengasuh itu tidak mahu memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Kerana itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengahwini anak-anak yatim itu kecuali kalau mahu berlaku adil kepada mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kahwin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (terj), VI/136-137).

Namun demikian, kebolehan poligami pada ayat di atas tidaklah harus selalu dikaitkan dengan konteks pengasuhan anak yatim, sebagaimana khayalan kaum liberal yang bodoh. Sebab sebagaimana sudah difahami dalam ilmu ushul fiqih, yang menjadi pegangan (al-‘ibrah) adalah bunyi redaksional ayat yang bersifat umum (fankihuu maa thaab lakum mina an-nisaa` dst), bukan sebab turunnya ayat yang bersifat khusus (pengasuhan anak yatim). Jadi poligami boleh dilakukan baik oleh orang yang mengasuh anak yatim mahupun yang tidak mengasuh anak yatim. Kaidah ushul fikih menyebutkan :
Idza warada lafzhul ‘umuum ‘ala sababin khaashin lam yusqith ‘umumahu
"Jika terdapat bunyi redaksional yang umum kerana sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah menggugurkan keumumannya." (Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995], Juz II hal. 123)
Beberapa hadits menunjukkan, bahawa Rasulullah SAW telah mengamalkan bolehnya poligami berdasarkan umumnya ayat tersebut, tanpa memandang apakah permaslahannya berkaitan dengan pengasuhan anak yatim atau tidak. Diriwayatkan bahawa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia punya sepuluh isteri,"Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikanlah yang lainnya!" (HR Malik, an-Nasa’i, dan ad-Daruquthni). Diriwayatkan Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,"Saya masuk Islam bersama-sama dengan lapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,"Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud). (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/139).

Kebolehan poligami ini tidaklah tepat kalau dikatakan "syaratnya harus adil." Yang benar, adil bukan syarat poligami, melainkan kewajiban dalam berpoligami. Syarat adalah sesuatu sifat atau keadaan yang harus terwujud sebelum adanya sesuatu yang disyaratkan (masyrut). Wudhu, misalnya, adalah syarat sah solat. Jadi wudhu harus terwujud dulu sebelum solat. Maka kalau dikatakan "adil" adalah syarat poligami, bererti "adil" harus terwujud lebih dulu sebelum orang berpoligami. Tentu ini tidak benar. Yang mungkin terwujud sebelum orang berpoligami bukanlah "adil" itu sendiri, tapi "perasaan" seseorang apakah ia akan bisa berlaku adil atau tidak. Jika "perasaan" itu adalah berupa kekhuatiran tidak akan dapat berlaku adil, maka di sinilah syariah mendorong dia untuk menikah dengan satu isteri saja (fa-in khiftum an-laa ta’diluu fa waahidah, "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kahwinilah) seorang saja) (QS an-Nisaa` : 3).
Adapun keadilan yang merupakan kewajiban dalam poligami sebagaimana dalam QS an-Nisaa` : 3, adalah keadilan dalam nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah tujuannya adalah mencukupi kebutuhan para isteri iaitu mencakup pakaian (al-malbas), makanan (al-ma`kal), dan tempat tinggal (al-maskan). Sedang mabit, tujuannya bukanlah untuk jima’ (bersetubuh) semata, melainkan untuk menemani dan berkasih sayang (al-uns), baik terjadi jima’ atau tidak. Jadi suami dianggap sudah memberikan hak mabit jika ia sudah bermalam di sisi salah seorang isterinya, walaupun tidak terjadi jima’ (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-217).
Yang dimaksud "adil" bukanlah "sama rata" (secara kuantiti) (Arab : al-taswiyah), melainkan memberikan hak sesuai keadaan para isteri masing-masing. Namun kalau suami mahu menyamakan secara kuantiti juga boleh, namun ini sunnah, bukan wajib. Isteri pertama dengan tiga anak, misalnya, tentu kadar nafkahnya tidak sama secara kuantiti dengan isteri kedua yang hanya punya satu anak. Dalam hal mabit (bermalam), wajib sama secara kuantiti antara para isteri. Namun isteri yang sedang menghadapi masalah misalnya sedang sakit atau stress, dapat diberi hak mabit lebih banyak daripada isteri yang tidak menghadapi masalah, asalkan isteri lainnya redha. (Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-208; Lihat secara khusus cara berlaku adil terhadap isteri-isteri dalam Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press], 2006).

Adapun "adil" dalam QS an-Nisaa’ : 129 yang mustahil dimiliki suami yang berpoligami, maksudnya bukanlah "adil" dalam hal nafkah dan mabit, melainkan adil dalam "kecenderungan hati" (al-mail al-qalbi). Allah SWT berfirman :
"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS an-Nisaa’ [4] : 129).
Imam Suyuthi menukil pendapat Ibnu Abbas RA, bahawa "adil" yang mustahil ini adalah : rasa cinta dan bersetubuh (al-hubb wa al-jima’) (Lihat Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 83).
Sayyid Sabiq menukilkan riwayat, bahawa Muhammad bin Sirin berkata,"Saya telah mengajukan pertanyaan dalam ayat ini kepada ‘Ubaidah. Jawabnya,Iaitu dalam cinta dan bersetubuh." (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/143).
Maka tidaklah benar pendapat kaum liberal yang mengharamkan poligami berdasarkan dalil ayat di atas (QS 4 : 129) yang dikaitkan dengan kewajiban adil dalam poligami (QS 4 : 3). Mereka katakan, di satu sisi Allah mewajibkan adil tapi di sisi lain keadilan adalah mustahil. Lalu dari sini mereka menarik kesimpulan bahwa sebenarnya poligami itu dilarang alias haram. Mereka menganggap keadilan pada dua ayat tersebut adalah keadilan yang sama, bukan keadilan yang berbeda. Padahal yang benar adalah, keadilan yang dimaksud QS 4:3 berbeza dengan keadilan yang dimaksud dengan ayat QS 4:129.
Pemahaman kaum liberal tersebut tidak benar, kerana implikasinya adalah, dua ayat di atas akan saling berlawanan (kontradiksi) satu sama lain, di mana yang satu meniadakan yang lain. Padahal Allah SWT telah menyatakan tidak adanya kontradiksi dalam Al-Qur`an. Allah SWT berfirman :
"Kalau sekiranya al-Qur`an itu dari sisi selain Allah, nescaya akan mereka dapati pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS an-Nisaa` [4] : 82).


**********
Kembali ke pernyataan Anna, tentu saja akan lain maknanya jika Anna berkata bahwa ia tidak memakan jengkol karena dia tak tahan dengan baunya, dan khawatir juga baunya akan tercium ke orang di sekitarnya. Atau perumpamaan lain yang semakna, misalnya saya tidak makan rujak karena sekarang saya sedang sakit perut, saya tidak minum air es karena sekarang saya sedang pilek, atau saya tidak memakai warna hitam karena hari ini panas sekali.

Sejarah hidup Anna yang kedua adalah ketika ia mengetahui bahwa Furqan, suaminya, mengidap HIV. Yang dengan alasan inilah Anna meminta cerai. Sebuah hal yang halal memang, tapi dibenci oleh Allah SWT.

Diceritakan di situ, bagaimana Anna begitu marah, langsung kehilangan kepercayaan, dan ujungnya meminta cerai.

Mari kita bahas peristiwa ini dalam perspektif kehidupan muslimah ideal yang seharusnya sesuai dengan syari'at Islam.

Ketika seseorang marah karena mendapati dirinya telah dibohongi, itu hal yang wajar. Tapi bagi seorang Anna Althafunnisa, tentunya sudah hafal di luar kepala hadits Nabi SAW tentang perintah menahan marah. Kenapa ia tidak berupaya melakukannya? Melakukan kebajikan dengan cara menahan marah. Dan sangat mustahil Anna yang lulusan Al-Azhar Mesir itu tidak mengetahui kalau Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Di sinilah kita lihat ego dan nafsunya bermain dan menghalanginya untuk duduk, berbaring, wudhu, atau shalat daripada meluapkan kemarahannya.

Andai saja Anna dapat menahan amarahnya dan sedikit saja berlapang dada, mungkin perceraian itu tidak akan pernah terjadi dan cerita pun akan lain. Ia akan lebih bisa mendengar apa yang dikatakan sang suami, ia akan berupaya mengerti tentang posisi suami, bahkan mungkin dia akan bersikap sebaliknya, misalnya tetap memberi dukungan moral pada seseorang yang telah diangkat menjadi imamnya. Atau sebagai seorang 'partner' yang baik, ia akan tetap mengibarkan bendera optimis dengan mengatakan, "Coba kita cek lagi ke dokter, sangat mungkin kekeliruan terjadi pada saat pemeriksaan dulu, engkau orang baik dan suka memudahkan urusan orang lain, yakinlah Allah tak kan mendzalimimu."

Ya, andai saja Anna lebih mampu sedikit bersabar dan menunggu, maka perceraian itu tidak akan pernah terjadi. Karena dalam alur cerita selanjutnya, ternyata hasilnya negatif setelah Furqan memeriksakan diri. Namun sayang, bukan sikap seperti itu yang Anna lakukan. Padahal pada saat itu posisi Anna adalah seorang isteri. Isteri yang sangat tahu betapa mulianya kedudukan seorang Adam ketika ia telah menjadi seorang suami, sampai-sampai Nabi SAW pernah menyabdakan, jika diperbolehkan menyembah selain Allah, niscaya ia akan menyuruh setiap isteri menyembah suaminya. Lalu, isteri shalihah macam apakah yang lantang bernada tinggi penuh amarah ketika berbicara di depan suaminya?

Inilah sikap Anna yang perlu kita kritisi, bahwa selayaknya seorang muslimah tetap berupaya mengendalikan dirinya dalam keadaan apapun. Seperti halnya tetap berupaya taat pada semua perintah Allah SWT, dalam keislaman yang kaffah.

Ana Althafunnisa, seorang muslimah cerdas yang memiliki banyak hal lebih dalam dirinya, tetaplah manusia biasa. Namun, tak dapat dipungkiri, bahwa terlepas dari kekurangannya, ia tetap menjadi sosok wanita luar biasa yang patut diikuti sepak terjangnya dalam merunut hidup menjadi wanita seperti yang diinginkanNya. Banyak hal baik yang bisa kita gali dan teladani, bahkan apa yang ada padanya mampu dijadikan motivasi agar kita menjadi semakin lebih baik.

***

Suatu malam terjadilah sebuah dialog antara seorang mad'u dengan murabbiyahnya.

"Mbak, Anna Althafunnisa itu luar biasa ya, apa Sekar bisa menjadi seperti dia?"

"Tentu saja bisa, bahkan Sekar bisa melebihi dia."

"Bagaimana mungkin Sekar yang seperti ini melebihi Anna yang lulusan Al-Azhar?"

"Justru itu Sekar bedanya yang menjadi luar biasa, kalau Anna menjadi wanita shalihah itu adalah hal yang sangat wajar. Ia putri seorang Kyai, ia kuliah di Al-Azhar, ia begitu punya banyak fasilitas yang memudahkan dirinya menjadi shalihah seperti itu. Tapi kalau Sekar manjadi seshalihah itu, bagi Mbak, Sekar jauh lebih luar biasa dari seratus Anna Althafunnisa sekalipun."

Nasehat indah Khoirunnisa Syahidah 



Nur Kaffah Ahkam

0 komentar:

Posting Komentar

linkWith

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...